Rabu, 07 Oktober 2009

Guru Ngaji Tidak Setuju Dengan Pilihan Saya

Pertanyaan

Assalaamu'alaikum Wr Wb Ba'da tahmid was sholawat Ustad, sejak setahun yang lalu ada seorang pria datang kepada orang tua saya untuk mengajukan lamaran. Orang tua sudah bersedia dan menyerahkan semua keputusan kepada saya. Tapi ketika hal ini saya sampaikan kepada "pembina saya" beliau tidak menyetujuinya dengan alasan kami tidak sekufu (waktu itu beliau bilang saya bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dari pria tersebut) dan pada saat bersamaan pun pria yang bersangkutan sebetulnya sudah membicarakan hal ini kepada "pembinanya" tapi tak ada jawaban.

Kami berdua sepakat untuk bersabar dengan keputusan tersebut, tapi setelah setahun berlalu saya justru disodorkan seorang pria yang lain yang memang secara kasat mata saja jauh lebih baik dari pria yang pertama. Saya sudah berusaha melakukan Istikharoh, dan hasilnya justru membuat saya semakin berazzam kepada pria yang pertama.

Ustadz, salahkah saya jika tetap pada pilihan pertama saya. Apalagi ketika akhirnya saya banyak tahu tentang latar belakang dia. Salahkah jika saya berazzam untuk meniti ridho-Nya bersamanya. Bukankah seorang "pembina" juga tidak boleh mengabaikan perasaan/Basyariah yang dibina. Saya khawatir hal ini justru akan menimbulkan penyakit hati buat saya. Terus terang hal ini sangat mempengaruhi saya.

Pria yang bersangkutan pun pada akhirnya tahu kalau permasalahan yang sebenarnya adalah karena perbedaan marhalah antara saya dan dia, dan hal itu membuatnya minder merasa tidak dianggap dalam komunitas. Ustadz apakah salah jika saya berazzam untuk menerima dia dan pada akhirnya mengajak dia bergabung dalam komunitas yang sesungguhnya. Karena sesungguhnya pria yang bersangkutan memiliki kafa'ah tertentu yang sangat berguna dan jarang di daerah saya. Hanya saja mungkin karena masih belum sampai pada pemahamannya saja yang membuat dia jadi kurang terarah.

Salahkah jika saya kembali mengajukan permohonan kepada pembina saya tentang permasalahan saya dengan pria yang pertama? Saya dan dia sangat khawatir jika hal ini justru menjerumuskan kami pada perbuatan dosa. Apakah komunitas bisa mengerti tentang azzam kami ini?

Wassalaamu'alaikum Wr Wb Winda


Jawaban

Assalaamu'alaikum Wr Wb,
Kami setuju dengan anda: jangan sampai masalah hati ini terabaikan dan menyebabkan anda dan pria tersebut menjadi berpenyakit hati. Sefaham kami, memang adakalanya seseorang harus patuh pada seorang pemimpin demi pertimbangan dakwah, namun sepanjang pengetahuan kami hal tersebut dicontohkan Rasul SAW bukan kepada sembarang muslim/muslimah, tetapi dicontohkan kepada sahabat mulia Zaid bin Haritsah yang sudah beliau bina sekian lama sebagai anak angkat.

Saat itu beliau menikahkan zaid dengan bangsawan wanita Quraisy yang masih kerabat beliau SAW sendiri, sedangkan Zaid ra berstatus awal sebagai budak. Keduanya merasa keberatan dengan hal ini karena Zainab (wanita tersebut) tak cinta terhadap Zaid karena tak hormat dengan asal usulnya. Setelah beberapa waktu mereka berusaha mempertahankan
pernikahan mereka, akhirnya tak sanggup lagi kemudian datang keputusan Allah untuk membolehkan mereka bercerai dan kemudian Allah Mewahyukan agar Nabi SAW sendiri yang menikahi Zainab. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini, tapi bukan disini tempanya kami uraikan.

Yang jelas, kami memandang anda belum sekaliber Zaid untuk sanggup diperintahkan oleh guru ngaji anda menerima keputusan nikah seperti itu dan guru ngaji andapun belum berhak terhadap diri anda sebagaimana Nabi SAW berhak atas diri Zaid ra. Segala sesuatu ada tingkatannya.

Kami usul 1. Jika hasil munajat anda kepada Allah adalah kecenderungan anda pada pria pertama yang sudah disetujui ortu anda, maka Bismilllah, jalanlah terus.
2. Beritahulah keputusan anda tsb kepada guru ngaji anda, dan mintalah pengertiannya tentang “kemanusiaan” diri anda yang baru sedemikian. Karena prinsipnya “laa ikraha fid diiien”
3. Soal prospek dakwah anda maupun pria tsb, tak usahlah anda ikut campur lebih jauh, serahkan saja kepada Allah. Jika anda ingin bantu, bantulah untuk terus menekuni jalan dakwah tanpa pamrih prospek apapun. Jika niat anda dan pria tersebut memang ikhlas kepada Allah, akhirnya apa niat dan potensi anda akan diperhatikan Allah jua. Serahkan itu pada ALLAH! Jalan Dakwah ini MILIK ALLAH, bukan milik siapapun atau kelompok apapun. Kadang para aktivis dakwah terlalu mengandalkan utak atik otak mereka dan mulai melalaikan faktor terpenting: Kesetujuan Allah dengan segala maksud yang pasti karena ILMUNYA yang luas. Kita ini makhluk bodoh, jangan terlalu mengandalkan utak-atik otak kita, munajat dan tawakkal, itu harus didahulukan.
4. Lakukanlah segala sesuatu KARENA ALLAH, bukan karena apapun termasuk KOMUNITAS. Ini menyangkut AQIDAH anda sendiri. (1) Komunitas anda terdiri dari manusia-manusia yang bisa salah, karena itu jangan terpaku mati pada apa pendapat mereka, setiap kita dihisab SENDIRI-SENDIRI, dan setiap perselisihan pendapat kita di dunia ini kelak diluruskan Allah di akhirat. (2) Jika anda terlalu terpaku pada apa kata komunitas, maka anda bisa jatuh pada dosa riya’. (3) Yang paling tahu keadaan diri setiap manusia termasuk kesanggupannya dan rahasia-rahasianya pertama adalah Allah, kedua adalah manusia itu sendiri. Jika dari hasil konsultasi anda pada Allah hasilnya adalah A, maka (jika proses ibadah anda benar) Insya Allah itulah yang harus aanda turutkan.
5. Jalan Dakwah ini jalan yang suci yang tak bisa menerima kecuali niat suci karena Allah. Bukan tidak suci jika anda berniat menikah dengan pria pilihan anda demi menghindarkan diri dari dosa manusiawi sebagaimana yang anda sanggup tahan atau bersabar atasnya. Tapi bukan niat suci namanya jika anda memilih pria pilihan guru ngaji anda dengan niat kelak prospek dakwah anda semakin cerah!
6. Sebagai gambaran, ada sebuah kasus, ada seorang aktivis dakwah pria (sebut A) sebenarnya masih cinta terhadap seorang wanita yang belum faham Islam.

Kemudian, karena sesuatu hal, ia tertantang unutk menikah segera. Karena merasa tertantang, ia pun mendatangi guru ngajinya minta dicarikan aktivis wanita. Kamudian sang gurupun mendapatkan alternatif seorang aktivis wanita (sebut si B). Si B ini sudah lama ingin menikah dengan sesama aktivis namun belum jodoh jua. Ia punya segudang harapan tentang calon suami yang ia harap adalah seorang aktivis. Saat data si B diperlihatkan kepada si A, karena terdesak tantangan, ia langsung terima tanpa “melihat” dengan mata hatinya. Jadilah mereka menikah, keduanya berangkat dengan niat yang sama-sama “kurang pas”. Si A, dengan niat tidak ikhlas menikah karena Allah, tapi menikah karena ditantang orang. Si B menikah dengan niat ingin mencari “aktivis” karena ia punya keyakinan baku bahwa kalau aktivis PASTI baik.

Apalagi ia tahu calonnya memang aktivis dengan kriteria kasat mata “baik”. Baru saja malam pertama, keduanya sudah jebol-jebolan. Kedua niat yang tidak pas tadi dipertemukan dalam pertengkaran. Sampai saat ini keduanya belum punya solusi untuk masalah ini sebab keduanya belum bisa bergeser dari niat yang tidak baik yang telah mempertemukan mereka. Wallahua’lam, mudah-mudahan kelak, sesegera mungkin keduanya segera memperbaiki niat dan merubah start awal pernikahan mereka dengan niat ikhlas karena Allah semata. Wallahua’lam bishshowwaab

Wassalaamu'alaikum Wr Wb


Tidak ada komentar: