Rabu, 07 Oktober 2009

HUKUM ABORSI

HUKUM MENGGUGURKAN KANDUNGAN HASIL PEMERKOSAAN

Dr. Yusuf Qardhawi

Pengantar

Pertanyaan penting ini saya terima ketika buku ini telah siap

untuk dicetak. Yang mengajukan pertanyaan adalah Saudara Dr.

Musthafa Siratisy, Ketua Muktamar Alami untuk Pemeliharaan

Hak-hak Asasi Manusia di Bosnia Herzegovina, yang

diselenggarakan di Zagreb ibu kota Kroasia, pada 18 dan 19

September 1992. Saya juga mengikuti kegiatan tersebut bersama

Fadhilatus-Syekh Muhammad al-Ghazali dan sejumlah ulama serta

juru dakwah kaum muslim dari seluruh penjuru dunia Islam.

Pertanyaan

Dr. Musthafa berkata, "Sejumlah saudara kaum muslim di

Republik Bosnia Herzegovina ketika mengetahui kedatangan Syekh

Muhammad al-Ghazali dan Syekh al-Qardhawi, mendorong saya

untuk mengajukan pertanyaan yang menyakitkan dan membingungkan

yang disampaikan secara malu-malu oleh lisan para remaja putri

kita yang diperkosa oleh tentara Serbia yang durhaka dan

bengis, yang tidak memelihara hubungan kekerabatan dengan

orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian, dan tidak

menjaga kehormatan dan harkat manusia. Akibat perilaku mereka

yang penuh dosa (pemerkosaan) itu maka banyak gadis muslimah

yang hamil sehingga menimbulkan perasaan sedih, takut, malu,

serta merasa rendah dan hina. Karena itulah mereka menanyakan

kepada Syekh berdua dan semua ahli ilmu: apakah yang harus

mereka lakukan terhadap tindak kriminalitas beserta akibatnya

ini? Apakah syara' memperbolehkan mereka menggugurkan

kandungan yang terpaksa mereka alami ini? Kalau kandungan itu

dibiarkan hingga si janin dilahirkan dalam keadaan hidup, maka

bagaimana hukumnya? Dan sampai dimana tanggung jawab si gadis

yang diperkosa itu?"

Jawaban

Fadhilatus-Syekh al-Ghazali menyerahkan kepada saya untuk

menjawab pertanyaan tersebut dalam sidang, maka saya

menjawabnya secara lisan dan direkam agar dapat didengar oleh

saudara-saudara khususnya remaja putri di Bosnia.

Saya pandang lebih bermanfaat lagi jika saya tulis jawaban ini

agar dapat disebarluaskan serta dijadikan acuan untuk

peristiwa-peristiwa serupa. Tiada daya (untuk menjauhi

keburukan) dan tiada kekuatan (untuk melakukan ketaatan)

kecuali dengan pertolongan Allah.

Kita kaum muslim telah dijadikan objek oleh orang-orang yang

rakus dan dijadikan sasaran bagi setiap pembidik, dan kaum

wanita serta anak-anak perempuan kita menjadi daging yang

"mubah" untuk disantap oleh serigala-serigala lapar dan

binatang-binatang buas itu tanpa takut akibatnya atau

pembalasannya nanti.

Pertanyaan serupa juga pernah diajukan kepada saya oleh

saudara-saudara kita di Eritrea mengenai nasib yang menimpa

anak-anak dan saudara-saudara perempuan mereka akibat ulah

tentara Nasrani yang tergabung dalam pasukan pembebasan

Eritrea, sebagaimana yang diperbuat tentara Serbia hari ini

terhadap anak-anak perempuan muslimah Bosnia yang tak berdosa.

Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan beberapa tahun lalu

oleh sekelompok wanita mukminah yang cendekia dari penjara

orang-orang zalim jenis thaghut di beberapa negara Arab Asia

kepada sejumlah ulama di negara-negara Arab yang isinya: apa

yang harus mereka lakukan terhadap kandungan mereka yang

merupakan kehamilan haram yang terjadi bukan karena mereka

berbuat dosa dan bukan atas kehendak mereka?

Pertama-tama perlu saya tegaskan bahwa saudara-saudara dan

anak-anak perempuan kita, yang telah saya sebutkan, tidak

menanggung dosa sama sekali terhadap apa yang terjadi pada

diri mereka, selama mereka sudah berusaha menolak dan

memeranginya, kemudian mereka dipaksa di bawah acungan senjata

dan di bawah tekanan kekuatan yang besar. Maka apakah yang

dapat diperbuat oleh wanita tawanan yang tidak punya kekuatan

di hadapan para penawan atau pemenjara yang bersenjata lengkap

yang tidak takut kepada Sang Pencipta dan tidak menaruh belas

kasihan kepada makhluk? Allah sendiri telah menetralisasi dosa

(yakni tidak menganggap berdosa) dari orang yang terpaksa

dalam masalah yang lebih besar daripada zina, yaitu kekafiran

dan mengucapkan kalimatul-kafri. Firman-Nya:

"... kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya

tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)."

(an-Nahl: 106)

Bahkan Al-Qur'an mengampuni dosa (tidak berdosa) orang yang

dalam keadaan darurat, meskipun ia masih punya sisa kemampuan

lahiriah untuk berusaha, hanya saja tekanan kedaruratannya

lebih kuat. Allah berfirman setelah menyebutkan macam-macam

makanan yang diharamkan:

"... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa

(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak

(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

(al-Baqarah: 173)

Dan Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas

suatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak

sengaja), karena lupa, dan karena dipaksa melakukannya."1

Bahkan anak-anak dan saudara-saudara perempuan kita

mendapatkan pahala atas musibah yang menimpa mereka, apabila

mereka tetap berpegang teguh pada Islam --yang karena

keislamannyalah mereka ditimpa bala bencana dan cobaan-- dan

mengharapkan ridha Allah Azza wa Jalla dalam menghadapi

gangguan dan penderitaan tersebut. Rasulullah saw. bersabda:

"Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan,

penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, atau

kerisauan, bahkan gangguan yang berupa duri, melainkan

Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan

peristiwa-peristiwa itu."2

Apabila seorang muslim mendapat pahala hanya karena dia

tertusuk duri, maka bagaimana lagi jika kehormatannya dirusak

orang dan kemuliaannya dikotori?

Karena itu saya nasihatkan kepada pemuda-pemuda muslim agar

mendekatkan diri kepada Allah dengan menikahi salah seorang

dari wanita-wanita tersebut, karena kasihan terhadap keadaan

mereka sekaligus mengobati luka hati mereka yang telah

kehilangan sesuatu yang paling berharga sebagai wanita

terhormat dan suci, yaitu kegadisannya.

Adapun menggugurkan kandungan, maka telah saya jelaskan dalam

fatwa terdahulu bahwa pada dasarnya hal ini terlarang,

semenjak bertemunya sel sperma laki-laki dan sel telur

perempuan, yang dari keduanya muncul makhluk yang baru dan

menetap didalam tempat menetapnya yang kuat di dalam rahim.

Maka makhluk baru ini harus dihormati, meskipun ia hasil dari

hubungan yang haram seperti zina. Dan Rasulullah saw. telah

memerintahkan wanita Ghamidiyah yang mengaku telah berbuat

zina dan akan dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu sampai

melahirkan anaknya, kemudian setelah itu ia disuruh menunggu

sampai anaknya sudah tidak menyusu lagi --baru setelah itu

dijatuhi hukuman rajam.

Inilah fatwa yang saya pilih untuk keadaan normal, meskipun

ada sebagian fuqaha yang memperbolehkan menggugurkan kandungan

asalkan belum berumur empat puluh hari, berdasarkan sebagian

riwayat yang mengatakan bahwa peniupan ruh terhadap janin itu

terjadi pada waktu berusia empat puluh atau empat puluh dua

hari.

Bahkan sebagian fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan

kandungan sebelum berusia seratus dua puluh hari, berdasarkan

riwayat yang masyhur bahwa peniupan ruh terjadi pada waktu

itu.

Tetapi pendapat yang saya pandang kuat ialah apa yang telah

saya sebutkan sebagai pendapat pertama di atas, meskipun dalam

keadaan udzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu di

antara dua pendapat terakhir tersebut. Apabila udzurnya

semakin kuat, maka rukhshahnya semakin jelas; dan bila hal itu

terjadi sebelum berusia empat puluh hari maka yang demikian

lebih dekat kepada rukhshah (kemurahan/kebolehan).

Selain itu, tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan dari musuh

yang kafir dan durhaka, yang melampaui batas dan pendosa,

terhadap wanita muslimah yang suci dan bersih, merupakan udzur

yang kuat bagi si muslimah dan keluarganya karena ia sangat

benci terhadap janin hasil pemerkosaan tersebut serta ingin

terbebas daripadanya. Maka ini merupakan rukhshah yang

difatwakan karena darurat, dan darurat itu diukur dengan kadar

ukurannya.

Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa ada fuqaha yang sangat

ketat dalam masalah ini, sehingga mereka melarang menggugurkan

kandungan meskipun baru berusia satu hari. Bahkan ada pula

yang mengharamkan usaha pencegahan kehamilan, baik dari pihak

laki-laki maupun dari pihak perempuan, ataupun dari

kedua-duanya, dengan beralasan beberapa hadits yang menamakan

nazl sebagai pembunuhan tersembunyi (terselubung). Maka

tidaklah mengherankan jika mereka mengharamkan pengguguran

setelah terjadinya kehamilan.

Pendapat terkuat ialah pendapat yang tengah-tengah antara yang

memberi kelonggaran dengan memperbolehkannya dan golongan yang

ketat yang melarangnya.

Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa sel telur wanita

setelah dibuahi oleh sel sperma laki-laki telah menjadi

manusia, maka yang demikian hanyalah semacam majas (kiasan)

dalam ungkapan, karena kenyataannya ia adalah bakal manusia.

Memang benar bahwa wujud ini mengandung kehidupan, tetapi

kehidupan itu sendiri bertingkat-tingkat dan bertahap, dan sel

sperma serta sel telur itu sendiri sebelum bertemu sudah

mengandung kehidupan, namun yang demikian bukanlah kehidupan

manusia yang telah diterapkan hukum padanya.

Karena itu rukhshah terikat dengan kondisi udzur yang muktabar

(dibenarkan), yang ditentukan oleh ahli syara', dokter, dan

cendekiawan. Sedangkan yang kondisinya tidak demikian, maka

tetaplah ia dalam hukum asal, yaitu terlarang.

Maka bagi wanita muslimah yang mendapatkan cobaan dengan

musibah seperti ini hendaklah memelihara janin tersebut

--sebab menurut syara' ia tidak menanggung dosa, sebagaimana

saya sebutkan di muka-- dan ia tidak dipaksa untuk

menggugurkannya. Dengan demikian, apabila janin tersebut tetap

dalam kandungannya selama kehamilan hingga ia dilahirkan, maka

dia adalah anak muslim, sebagaimana sabda Nabi saw.:

"Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah."3

Yang dimaksud dengan fitrah ialah tauhid, yaitu Islam.

Menurut ketetapan fiqhiyah, bahwa seorang anak apabila kedua

orang tuanya berbeda agama, maka dia mengikuti orang tua yang

terbaik agamanya. Ini bagi orang (anak) yang diketahui

ayahnya, maka bagaimana dengan anak yang tidak ada bapaknya?

Sesungguhnya dia adalah anak muslim, tanpa diragukan lagi.

Dalam hal ini, bagi masyarakat muslim sudah seharusnya

mengurus pemeliharaan dan nafkah anak itu serta memberinya

pendidikan yang baik, jangan menyerahkan beban itu kepada

ibunya yang miskin dan yang telah terkena cobaan. Demikian

pula pemerintah dalam Islam, seharusnya bertanggung jawab

terhadap pemeliharaan ini melalui departemen atau badan sosial

tertentu. Dalam hadits sahih muttafaq 'alaih, Rasulullah saw.

bersabda:

"Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing

kamu akan dimintai pertanggungjawabannya."4

Catatan kaki:

1 HR Ibnu Majah dalam "ath-Thalaq," juz 1, him. 659,

hadits nomor 2045; disahkan oleh Hakim dalam kitabnya,

juz 2, hlm. 198; disetujui oleh adz-Dzahabi; dan

diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan-nya, juz 7, hlm.

356

2 HR Bukhari dalam "al-Mardha' (dari kitab Shahih-nya),

juz 10, hlm. 103, hadits nomor 5641 dan 5642.

3 HR Bukhari dalam "al-Jana'iz," juz 3, hlm. 245,

hadits nomor 1385.

4 HR Bukhari dalam "al-'Itq," juz 5, hlm. 181, hadits

nomor 2558, dan dalam "an-Nikah," juz 9, hlm. 299,

hadits nomor 5200.

-----------------------

Fatwa-fatwa Kontemporer

Dr. Yusuf Qardhawi

Gema Insani Press

Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740

Telp. (021) 7984391-7984392-7988593

Fax. (021) 7984388

ISBN 979-561-276-X

Tidak ada komentar: