Kamis, 24 September 2009

Tanda Orang Yang Bertaqwa Ia Akan Memuliakan Orang-Orang Yang Ada Hubungan Dengan Nabi Muhammad SAW

Seorang hamba belum dianggap bertaqwa kepada Allah SWT selagi ia belum mentaati Rasul-Nya. Tidaklah tergolong orang-orang yang bertaqwa apabila berbuat sampai menyakiti, menyalahi dan tidak menghargai wasiat Rasulullah SAW termasuk yang demikian itu adalah memutuskan tali nasab seorang syarifah dengan Baginda Nabi SAW.
Aslafuna-Ashsholihun (1) tidak ada yang berbuat demikian apalagi menganjurkannya. Banyak hadis Nabi SAW yang menekankan betapa seharusnya menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk menghormati, menjaga dan memelihara hubungan nasab seseorang dengan Nabi Muhammad SAW.
Beliau SAW bersabda:
"Jagalah kehormatanku di dalam sahabat-sahabatku dan orang-orang yang bersambung kefamilian denganku. Maka barangsiapa menjaga (kehormatan) aku dalam hal tentang mereka, Allah akan melihatnya di dunia dan di akhirat (dengan pandangan rahmat). Dan barangsiapa tidak menjaga kehormatanku dalam hal tentang mereka itu, maka Allah akan membiarkannya (jauh dari pandangan rahmat). Dan barangsiapa dibiarkan Allah, kelak tentu akan ditindak oleh Allah SWT". (H.R. Al-Baghawi dari 'Iyadh Al-Anshori r.a. Jami'us Shoghir: 267)
Aslafuna-Ashsholihun dari yang bukan Ahlul-Bait (keturunan ) Nabi SAW karena ilmu dan pemahamannya serta kenal betul dengan yang demikian, di antara mereka ada yang menjalin hubungan kekeluargaan dengan menikahkan puterinya (anak wanitanya) dengan lelaki yang bernasabkan kepada Rasulullah SAW (sayyid/syarif) atau meminta sayyid tersebut untuk berkenan menikahi puterinya, yang mana puteri tersebut mereka didik, mereka pelihara dan mereka jaga dengan baik dan benar sehingga menjadi puteri yang shalihah. Hal ini dilakukan semata dengan harapan dapat memperoleh hubungan kefamilian dengan Rasulullah SAW, melalui anaknya (puterinya). Lagi pula mereka meyakininya sebagai suatu hal yang dapat membawa berkah, bukan karena harapan tuntutan duniawi.
Apabila memperhatikan, mempelajari dan memahami hadis-hadis Nabi SAW, mengenal nasab Ahlul-Bait, niscaya sungguh wajar sekali memelihara tali hubungan kefamilian dengan Baginda Nabi SAW tersebut. Oleh sebab itu seorang syarifah diwajibkan menjaga dirinya agar tidak menikah dengan selain Sayyid atas landasan dalil-dalil yang jelas.
Penetapan hal ini bukanlah 'ashobiah (fanatisme kesukuan), sebagaimana kebanyakan yang telah dituduhkan oleh orang-orang yang tidak mengerti dan tidak bertanggungjawab. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan sifat benci dan tidak rela serta tidak adanya rasa hormat, sehingga dituduhkan hal yang demikian itu sebagai mengada, mau menang sendiri dan mau untung sendiri atau bermacam-macam tuduhan lain yang mereka tuduhkan sebagai tindakan fanatisme kesukuan ('ashobiah), sehingga tidak ada satu celah untuk membaur, penuh kesombongan dan memecah-belahkan ummat.
Semasa Nabi Muhammad SAW hidup pun, persangkaan jelek seperti ini sudah ada, terutama yang berhubungan dengan keluarga Nabi SAW dan orang-orang yang dekat kepada Nabi SAW. Namun Allah SWT, Zat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar langsung memberikan jawaban melalui wahyu-Nya kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abul Hasan tentang sebuah hadis dari orang tuanya yang mana hadis ini berasal dari Sayyidina Ali bin Abi Tholib r.a: "Bahawasanya pada suatu hari datang kaum Muhajirin dan Anshor kepada Nabi SAW, mereka berkata: Ya Rasulullah SAW! Anda tentu memerlukan barang-barang untuk nafkah dan kebutuhan anda sendiri, juga untuk menjamu para utusan yang datang menghadap anda. Ambillah harta kekayaan kami dan pergunakanlah menurut kemauan anda atau simpanlah jika anda mau menyimpannya".
Pada saat itu turunlah Malaikat Jibril a.s. menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW:
"Katakanlah (wahai Muhammad), Aku tidak minta upah apapun kepada kalian atas (da'wah risalah yang kusampaikan) selain agar kalian berkasih sayang kepada kerabat". (Q.S. As-Syura: 23)
Beberapa orang munafik yang ada dalam rombongan mereka itu berkata di antara mereka sendiri: "Yang membuat Rasulullah SAW tidak mau menerima tawaran itu ialah karena ia hendak mendesak supaya kita mencintai kerabatnya setelah ia wafat". Sungguh! Perkataan ini adalah suatu kedustaan yang sangat besar sekali.
Atas celotehan mereka itu, turunlah firman Allah SWT:
"Ataukah mereka mengatakan: Dia (Muhammad) telah mengadakan kedustaan terhadap Allah. Jika Allah menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu. Allah (berkuasa) menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak denga kalimat-kalimat-Nya (Al-Quran). Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mengetahui segala yang tersembunyi di dalam dada". (Q.S. As-Syura: 24)
Setelah wahyu tersebut diterima Rasul SAW, maka beliau mengutus seorang sahabat untuk menanyakan apa benar ada orang yang berkata seperti itu?
Di antara rombongan yang pernah datang menghadap Rasulullah SAW menjawab: "Ada beberapa orang di antara kami yang berkata sekasar itu dan kami sendiri sangat tidak menyukainya".
Utusan Rasulullah SAW itu kemudian membacakan ayat tersebut di atas Q.S. As-Syura: 24 kepada mereka. Demi mendengar ayat yang ditujukan Allah SWT khusus kepada mereka tersebut, maka menangislah mereka, menyesali semua perkatan yang pernah dilontarkan kepada Nabi SAW. Kemudian setelah itu turunlah firman Allah SWT kepada Beliau SAW.
"Dan Dia (Allah SWT) yang berkenan menerima taubat dari hamba-hamba-Nya, memaafkan kesalahan-kesalahan dan (Dia) mengetahui apa-apa yang kalian perbuat". (Q.S. As-Syura: 25)
Khabar Asbabun Nuzul (2) ayat ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Thabrani dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas pernah ditanya dan ia menjelaskan apa yang dimaksud dengan al-Qurba (kerabat, dalam ayat 23: As-Syura) adalah "aal" (keluarga) Ahlul-Bait Nabi SAW.
Dan jawaban dari tuntutan ayat tersebut jauh sekali serta mustahil dapat dianggap sebagai imbalan bagi Rasulullah SAW karena Allah SWT telah memerintahkan Nabi SAW untuk mengatakan secara jelas perihal da'wahnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Katakanlah (wahai Nabi), aku tidak minta upah apapun kepada kalian atas hal itu (da'wah risalah yang telah disampaikan) dan aku bukanlah termasuk orang yang mengada-ada". (Q.S. As-Shaad: 86)
Pemberlakuan kafaah bagi syarifah tidak dapat digolongkan sebagai adat, dan juga bukanlah 'ashobiah, sebab yang dapat digolongkan adat adalah apabila tidak ada perintah dan larangan seperti dalam syari'at, apalagi jika ia bertentangan dengan syari'at, yang demikian malah harus ditinggalkan.
Sedangkan masalah kafaah bagi syarifah, ia memang disyari'atkan karena ada sandaran dalil-dalilnya dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Sedang 'Ashobiah yang ada pada umumnya biasanya menyebabkan putusnya tali jalinan persaudaraan, hubungan kemasyarakatan yang bersifat saling benci, saling menghina atau memboikot, menjelek-jelekan suku lain bahkan berlanjut saling bentrok atau sampai dapat menyebabkan peperangan antara mereka. Hal semacam inilah yang dilarang dan diancam Rasulullah SAW bagi ummatnya sebagaimana terjadi antara bani 'Aus dan Khozraj.
Rasulullah SAW bersabda:
"Dan tidak termasuk golongan kami orang yang menganjurkan 'ashobiah, dan tidaklah termasuk golongan kami orang yang berperang atas 'ashobiah, serta bukan pula golongan kami orang mati atas (sebab) 'ashobiah". (H.R. Abu Daud)
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber :
S. Umar bin Mudhor Syahab .1996. "Tuntutan Tanggungjawab Terhadap Ahlul-Bait dan Kafa'ah-nya" . Yayasan Nusantara . Jakarta
Referensi utama:
"Ahlul-Bait Rasulullah SAW dan Kafa'ah mereka" ,As-Sayyidil Waalid Al-Habib Alwi bin Ahmad Al-Bahsin (Habib Mu'allim Nang atau Ma'lim Nang Palembang)
"Qawaaniin Asy-Syar'iyah" yang disusun oleh Mufti Betawi As-Sayyidil Waalid Al-Habib Utsman bin Abdullah bin 'Agil bin Yahya( Mufti Betawi)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
sakran_baalawi040303

Tidak ada komentar: